Jumat, 06 November 2009

BANDUNG UTARA YANG MEMPRIHATINKAN

Tatkala matahari pagi menyingsing di Lembang yang sejuk, kita terhenyak  dari  malam yang memberi  semangat di  hari ini, aku bergegas dari tempat tidurku, aku bersiap menuju ke kantorku yang dekat dimana  aku  merasa hari berubah menjadi panas dalam relatif singkat.  Hari itu Selasa 14 Agustus 2007 dibukanya Sespati dikreg ke 13.
Siang harinya aku mendampingi para seniorku dan calon pemegang tongkat kepemimpinan melaksanakan kegiatan outbond dari Taman Hutan Raya Ir. Juanda di wilayah Dago Pakar ke Air Terjun Maribaya. Saat aku akan berangkat mengikuti kegiatan dibenakku kalau  Taman Hutan Raya itu penuh dengan hutan-hutan lebat. Namun perjalanan saat menyusuri sungai Cikapundung, maka anganku terjawab sebaliknya.  Adalah hutan pinus yang penuh dengan kebohongan, tidak mencerminkan keragaman hayati suatu ekologi yang lengkap. Yang kudapati suatu taman berisi pohon pinus dan dikitari dengan tembok.
Ibarat gula yang sedang direbut oleh semut-semut, diutara adanya perladangan sayur yang kelihatannya liar, sedangkan yang diselatan tumbuhnya rumah mewah dengan model menarik ala vila, namun tidak sedikit rumah biasa yang padat kian menyerbu dago pakar.  Akankah Dago Pakar hanya sebuah taman bukan bagian dari komponen resapan air untuk kota Bandung.
Kulihat adanya beberapa pohon di dalam taman itu sengaja ditumbangkan agar dapat diambil kayunya.  Yang membuat aku menjadi prihatin adalah tidak terdapat peremajaan akan tanaman, bukankah hutan itu adalah kebun pohon, bukanlah sebuah hutan.  Sementara tukang ojek lalu lalang menawarkan untuk dinaiki agar memberi hasil bagi pemiliknya  tanpa memperhatikan keasrian taman itu.
Mungkin sudah menjadi label tempat wisata yang berupa taman, selalu terdapat sepasang manusia yang saling memadu cinta ? Hal ini tidaklah mencerminkan budaya ketimuran, yang selalu mengedepankan perasaan malu, Pasangan pemuda-pemudi dapatlah dikatakan sebagai sosok individu yang acuh tak acuh,  bahaya yang mengancam dari sosok acuh tak acuh ini adalah kemasa bodohan dengan lingkungan sekitarnya, yang akan merendahkan moralitas dan norma-norma positif  yang ada di sekelilingnya. 
Hal lain yang mengganggu adalah banyaknya sampah yang tercecer karena tidak adanya tempat sampah yang memadai dan toilet sehingga pengunjung ditempat itu dengan leluasa membuang sampah, yang alhasil pemandangan tidak sedap terdapatnya sampah yang tercecer . 

Yang menambah serem saat memasuki Gua Belanda, dimana tidak tersedianya penerangan didalam gua sehingga mengharuskan pengunjung membawa alat penerangan sendiri atau menyewa alat penerangan agar bisa berjalan, kalau tidak akan membuat pengunjung meraba-raba dinding agar tidak terjatuh. 
Harusnya Kodya Bandung dan Kabupaten bekerja sama untuk memperhatikan keragaman hayati di daerah pinggiran sungai cikapundung itu, sehingga masyarakat dapat diberi suatu contoh akan suatu hutan yang penuh dengan keragaman hayati.  Pengawasan terhadap pembangunan di wilayah Lembang yang menghadap Bandung sudah menjadi incaran para wisatawan (mayoritas etnis Tionghoa) dari Jakarta, yang semula hanya jalan-jalan namun sambil menanyai pemilik tanah sehingga tanah tersebut menjadi berubah status kepemilikannya.  Seharusnya wisatawan yang kaya itu tidak usahlah memiliki villa tapi cukup menginap di penginapan saja / bila ingin lama maka mengontrak saja.    
Hal tersebut mendorong  eks pemilik tanah kehilangan asset tanahnya, sehingga menjadikan  sebagai buruh kebun karena tanah telah berubah kepemilikan.   Dan dalam tempo yang tidak terlalu lama akan merubah kebun tersebut menjadi rumah vila yang cantik.   Lalu eks  pemilik tanah akan galau kehilangan segalanya maka apa yang diperbuat selanjutnya.
Sudah nyata kerusakan akan Bandung Utara. Para eks pemilik tanah akan mencari lagi uang instan dengan mencuri kayu dihutan menjadi peladang berpindah dan membuka ladang didalam hutan, atau mengambil galian pasir C seperti yang terjadi disekitar Pusdik Kowad.  Aparat pemerintahan kecamatan Lembang kabupaten Bandung terlalu naïf untuk mengeluarkan hak atas status tanah-tanah, tanpa memperhatikan bencana yang akan timbul akibat  mendapat iming-iming biaya pengurusan tanah yang menggiurkan.
Dalam pemikiran yang revolusioner, menyarankan agar  taman hutan raya itu diperluas lagi dengan melaksanakan reboisasi terhadap ladang-ladang disekitar sungai itu, menanami kembali pohon-pohon yang telah rusak. Demi adilnya merobohkan vila mewah / kampung-kampung kumuh yang terdapat disekitar.     Melaksanakan penegakan hukum yang konsisten, sebagai komitmen terhadap Bandung Utara sebagai resapan air. (Roits)